POTRET SURAM PENDIDIKAN INDONESIA  

Diposting oleh i4july

Potret pendidikan Indonesia yang semakin lama semakin tidak jelas, selalu menjadi bahan pemikiran semua kalangan. Baik Pemerintah, Swasta maupun para teknokrat, yang sedikit banyak andil dalam pembenahan infra dan supra struktur pendidikan bangsa kita. Hal ini ditunjukkan oleh kualitas pendidikan yang setiap tahun mengalami penurunan. Ditambah lagi dengan kuantitas yang ikut menurun. Belum lagi alokasi anggaran dari pemerintah yang tidak pernah menjadikan pendidikan sebagai prioritas.
Tentunya begitu banyak hal yang menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia. Selain kurangnya perhatian pemerintah, fasilitas yang tidak memadai, juga minimnya tingkat keseriusan dari stake holder pendidikan itu sendiri. Seperti para Guru, Orang Tua dan siswa itu sendiri. Artinya perlu komunikasi yang baik antara semua elemen. Tidak hanya diprioritaskan oleh pemerintah, tetapi juga harus didukung oleh kesadaran kolektif elemen pembangunnya.
Pendidikan dini didalam keluarga tentunya harus dapat menjadi pondasi yang kokoh, dalam rangka pembentukan karakter dan psikologis seorang individu. Pondasi ini yang nantinya akan membatasi system nilai dan norma ketika individu menjadi seorang makhluk social.
Sekolah adalah keluarga ke-dua, sehingga system pendidikan terbaik dan ideal tentunya harus diterapkan. Khususnya pada pendidikan dasar 9 tahun. Dalam lingkungan sekolah, seorang Guru seharusnya dapat menjadi orang tua kedua. Hakikatnya bukan pengajar tetapi pendidik. Sehingga Guru dituntut menjadi figure yang membumi. Bukan hanya menyampaikan pelajaran yang dikurikulumkan. Yang lebih penting lagi ialah menyampaikan system nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat. Agar para siswa/i dapat menumbuhkan human right, moralitas yang manusiawi. Agar sebagai seorang individu dia dapat menilai hal terbaik untuk dirinya.

Rendahnya Minat Baca dan Menulis
Budaya baca dan menulis masyarakat Indonesia yang rendah merupakan salah satu factor yang menyebabkan pendidikan Indonesia dari tahun ke-tahun tidak pernah mengalami perbaikan.
Bayangkan, ditengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin menggila ini, kita hanya berlaku sebagai korban, menjadi penikmat saja kita tidak mampu, apalagi menjadi pembaharu atau producen kemajuan. Kita bagai sebuah boneka yang dijejali apapun diam saja dan menerima ibarat taklid buta, tanpa reserve.
Hal ini ditunjukan oleh minimnya produktivitas bangsa kita, akan membaca dan karya tulis. Dimasa penjajahan Belanda, siswa setingkat SMA saja wajib membuat 106 karya tulis dan membaca 25 buku sastra yang terdiri dari empat bahasa yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Prancis. Sekarang ini anak SMA hanya dapat menulis rata-rata satu karya tulis dalam satu tahun.
Anjloknya budaya baca dan tulis ini mulai terjadi ketika Pemerintah cenderung memprioritaskan Pembangunan Fisik, tanpa diikuti pembangunan moral masyarakat. Sehingga daya pandang dan pola fikir masyarakat cenderung simbolik dan materialistis. Padahal dengan membaca dan menulis tidak hanya menambah pengetahuan, namun juga menumbuhkan rasa kemanusiaan dan logika berfikir.

Perlu Terobosan
Sesungguhnya banyak cara apabila pemerintah memilki niat baik untuk mencerdaskan masyarakat. Pertama ialah meningkatkan minat baca. Hal ini saya kira penting, karena bagaimana pun Pemerintah berkepentingan pada masyarakat yang cerdas. Bagaimana mungkin misalnya, Pemerintah Daerah akan dapat membuat kebijakan yang didukung masyarakat, apabila masyarakatnya tidak cerdas. Masyarakat yang belum cerdas tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan, tetapi dari kualitas dan kuantitas bacanya. Sebab, banyak orang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak cerdas, karena malas baca. Sehingga yang timbul ialah kekerasan disekolah atau kampus, atau perkelahian antar pelajar atau mahasiswa. Karena, pada saat ini masyarakat Indonesia masih memandang pendidikan dari sisi kuantitas, yang penting sekolah “agar tidak ketinggalan zaman/gengsi”, akan tetapi ghiroh pendidikan yang mulia sebagai bekal hidup dunia dan akhirat tidak menjadi orientasi.
Kedua, perbaikan Sistem Pendidikan. Baik itu Lembaga Pendidikan, fasilitas pendidikan, Infra Struktur, bahkan sampai kepada tahap Kebijakan. Lembaga Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan saat ini. Dengan tingginya jumlah penggangguran, sudah dapat menyimpulkan betapa hancurnya system pendidikan bangsa kita. Sebagian besar lembaga pendidikan hanya berfikir komersil, yang penting sebanyak mungkin siswa yang dapat mereka rekrut, sampai-sampai jumlah siswa melebihi kuota fasilitas. Seolah-olah lembaga pendidikan lepas tangan ketika siswa-nya telah lulus. Atau mungkin tidak terfikirkan bagaimana solusi terbaik agar setelah siswa lulus menjadi lebih berguna, baik itu mendapat pekerjaan ataupun meneruskan keilmuannya.
Sistem ini mau tidak mau terkait dengan system sosialnya. Artinya pemerintah harus dapat mengendalikan regulasi generasi. Dengan menciptakan ruang public, saya kira dapat mengatasi jumlah pengangguran. Karena dengan kondisi ekonomi yang fruktuatif saat ini sangat sulit menghilangkan pengangguran. Meski bentuknya tidak lapangan pekerjaan, minimal ada ruang untuk mencurahkan kreativitas. Dengan begitu diharapkan tercipta masyarakat yang produktif, bahkan tidak bergantung pada pemerintah.

Bandung, 9 Desember 2007

This entry was posted on 21.10 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar