Diposting oleh i4july

 

Diposting oleh i4july

Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia
Pramoedya semasa muda


Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

* 13 Oktober 1965 - Juli 1969
* Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
* Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
* November - 21 Desember 1979 di Magelang

Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru


Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang
Muthmainah, Istri Pramoedya


Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya


Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan
Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999

* Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
* Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
* Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
* Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
* UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996
* Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
* Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
* Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
* New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
* Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
* The Norwegian Authors Union, 2004
* Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

* Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
* Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
* Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
* Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
* Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
* International PEN English Center Award, Inggris, 1992
* International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Bibliografi

Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.

* Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
* Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
* Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
* Keluarga Gerilya (1950)
* Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
* Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
* Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
* Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
* Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
* Gulat di Jakarta (1953)
* Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Korupsi (1954)
* Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Cerita Dari Jakarta (1957)
* Cerita Calon Arang (1957)
* Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
* Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
* Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
* Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
* Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
* Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
* Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Arus Balik (1995)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (2000)
* Larasati (2000)
* Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Buku tentang Pramoedya dan karyanya

* Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
* Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
* Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
* Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
* Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

Diambil dari Wikipedia

 

Diposting oleh i4july

MENGAPA MASYARAKAT (PERLU) MENOLAK KENAIKAN BBM  

Diposting oleh i4july

Indonesia adalah negara miskin namun sebagai produsen minyak dunia. Produksi minyak Indonesia, sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata mencapai di atas satu juta barel per hari. Tahun 2003 dan 2004, produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barel per hari. Sedangkan untuk tahun 2005, produksi minyak Indonesia diproyeksikan mencapai 1,12 juta barel per hari.
Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, diekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain. Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai US$15,2 miliar dan US$19,6 miliar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 miliar dan US$11,5 miliar. Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai US$19,7 miliar dan US$11,3 miliar.
Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan betapa hasil ekspor minyak dan gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin produsen minyak, sebenarnya sangat wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus menerus di sesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan memberatkan beban hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan demikian akan membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Undang-undang RI tentang Minyak dan Gas Bumi Nomor. 22 Tahun 2001, Pasal 22 Ayat (1) menyatakan :

“ Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan tersedianya pasokan Minyak dan/atau Gas Bumi yang diproduksi dari Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri. Pengertian penyerahan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak dan/atau Gas Bumi dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila suatu Wilayah Kerja menghasilkan Minyak dan Gas Bumi maka Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Gas Bumi. “

Apabila dilihat dari undang-undang tersebut diatas, sangat ironis memang. Indonesia yang saat ini merupakan salah satu produsen terbesar Minyak dan Gas dunia mengalami krisis energi. Dari produksi minyak dan gas, rakyat hanya dapat menikmati 25% dari jumlah produksi. Pertanyaannya, Apakah Pemerintah memang tidak memiliki keberanian untuk melindungi hak rakyatnya dari tekanan dunia internasional atau memang beberapa oknum pemerintah mengeruk keuntungan dari transaksi-transaksi haram dengan cara menggadaikan aset negara?
Saat ini, di Indonesia terdapat perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell, dan semuanya sangat mendominasi pasar tambang dan minyak di Indonesia. Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.
Untuk menutupi kebusukan tersebut, pemerintah memberikan solusi yang sangat tidak masuk akal dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 35 Triliyun dengan bantuan perorang sebesar Rp.100.000/bulan, dengan asumsi masyarakat menengah kebawah diuntungkan, dari beban pengeluaran masyarakat Rp.30.000/bulan untuk membeli minyak tanah. Sehingga selisihnya Rp.70.000/bulan untuk menutupi kebutuhan lainnya. (Sumber: Tempo;Yusuf Kalla, 6 Mei 2008)
Asumsi seperti tersebut jelas menyesatkan masyarakat, dengan kenaikan BBM 30% diperkirakan mengakibatkan produktivitas menurun 32%, sehingga beban produksi semua produk naik 35%.

Apa langkah yang harus dilakukan ?

Perlu dibangun kesadaran kolektif dari segenap rakyat, bahwa kita tidak boleh begitu saja menerima kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Kesadaran ini juga tiada artinya tanpa gerakan kongkret. Diantaranya perlu kajian mendalam tentang produksi Migas Indonesia, perlu transparansi dan kontrol aset negara. Salah satunya ialah inventarisasi dan nasionalisasi aset negara. Sehingga dapat menjadi keuntungan yang surplus. Mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal, memerangi korupsi dengan memperkarakan koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.
Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat memang wajib menolak kenaikkan harga BBM, sebab angka-angka mengenai penghasilan negara dari migas dan volume subsidi BBM cenderung tidak transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup rakyat dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah menampakkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.

Alasan Pertama: Liberalisasi Ekonomi

Kebijakan peniadaan subsidi BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kebijakan besar liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia. Secara khusus, kebijakan peniadaan subsidi BBM berkaitan dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus Washington sebagaimana diperintahkan oleh IMF. Sebagai unsur dari agenda Konsensus Washington, tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan dilakukannya unbundling PT Pertamina, sebagaimana terungkap dalam Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001, kebijakan tersebut diharapkan dapat merupakan insentif bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia.
Dengan demikian, sejalan UU No. 22/2001, yang meniadakan perbedaan antara perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM dengan harga bersubsidi jelas sangat bertentangan dengan kepentingan bisnis mereka. Terutama jika dilihat dari sudut hasrat mereka untuk menjadi pengecer BBM di Indonesia, penjualan BBM dengan harga bersubsidi tentu sangat bertentangan dengan rencana besar liberalisasi sektor pertambangan dan gas yang telah mereka perjuangkan sejak lama.
Menyimak agenda tersembunyi di balik kebijakan peniadaan subsidi BBM yang sedang dilakukan pemerintah, lebih-lebih menyusul keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki dilakukannya amandemen terhadap UU No. 22/2001, maka masyarakat sesungguhnya justru memiliki kewajiban untuk menolak peniadaan subsidi dan kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut pada dasarnya hanyalah unsur dari proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme.
Alasan Kedua: Struktur Ekonomi
Melencengnya sebagian besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan lebih erat kaitannya dengan corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur sudah sangat timpang.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan kurang dari US$2 atau sekitar Rp19.000 per hari, saat ini masih berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah seluruh penduduk. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar, yang secara keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di negeri ini.
Sebab itu, bila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah itu sendiri, pada dasarnya cenderung lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota masyarakat golongan bawah dan orang miskin.
Pertanyaannya, apakah untuk mengakhiri berlanjutnya keberadaan pemerintah yang cenderung “tidak tepat sasaran” itu kita juga perlu berpikir untuk membubarkan pemerintah? Jawabannya tentu saja tidak. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuik mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan pemerintah yang cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukanlah meniadakan pemberian subsidi. Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian Indonesia yang timpang.
Caranya adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiaya pendidikan dan kesehatan, dan dengan meningkatkan tarif pajak kendaraan bagi para pemilik kendaraan pribadi.
Pendek kata, masyarakat perlu menolak pengurangan subsidi dan kenaikan harga BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran sama sekali tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat manipulatif.
Alasan Ketiga: Beban Utang
Jika dilihat dari segi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran negara, pada dasarnya tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya subsidi BBM.
Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban APBN terutama dipicu oleh sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Sebagaimana diketahui, pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai Rp140 – Rp 150 triliun setiap tahun.
Sebagaimana tampak dalam APBN 2004, angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri menelan sekitar Rp 30 triliun dan Rp 44 triliun. Sedangkan angsuran pokok dan bunga utang luar negeri menelan sekitar Rp 46 triliun dan Rp 25 triliun per tahun. Jumlah itu, bandingkan dengan volume subsidi BBM yang dalam APBN 2004 hanya dianggarkan sebesar Rp 14,5 triliun atau setara dengan sepersepuluh anggaran pembayaran angsuran pokok dan bunga utang, meliputi sekitar sepertiga APBN.
Perlu ditambahkan, pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar, yang hanya dimiliki oleh sekitar 14.000 orang, sebagaimana saya kemukakan tadi.
Selain itu, sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah, volume subsidi BBM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tiga tahun terakhir, justru terus menerus mengalami penurunan. Tahun 2001 volume subsidi BBM masih meliputi 4,7 persen PDB. Tahun 2002 dan 2003 turun menjadi hanya 1,9 dan 0,7 PDB. Sedang tahun 2004 lalu, volume subsidi BBM kembali hanya dianggarkan sebesar 0,7 persen PDB.
Artinya, masyarakat memang perlu menolak kenaikan harga BBM, sebab secara de facto, relatif terhadap PDB, selama beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah terus menerus mengalami penurunan. Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri setiap tahunnya.
Alasan Keempat: Rejeki Nomplok
Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai negara produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari kenaikkan harga minyak tersebut. Sebagaimana telah saya singgung pada bagian awal tulisan ini, proyeksi hasil ekspor migas Indonesia untuk tahun 2005 mencapai US$19,7 miliar. Sedangkan proyeksi biaya impor migas Indonesia hanya mencapai US$11,3 triliun.
Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar internasional, penerimaan negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan. Anehnya, sebagaimana tampak dalam APBN 2005, volume PPh Migas terhadap PDB justru diproyeksikan turun dari satu persen menjadi 0,5 persen PDB. Sedangkan Penerimaan Bukan Pajak Migas turun dari 3,8 persen menjadi hanya 1,8 persen PDB.
Hal itu terutama disebabkan oleh sangat rendahnya asumsi harga minyak dalam APBN 2005. Sebagaimana diketahui, ketika harga minyak di pasar internasional melonjak melampaui US$50 per barrel, APBN 2005 hanya mengasumsikan harga minyak sebesar US$24 per barrel. Dengan demikian, pemerintah sesungguhnya diam-diam menikmati rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional itu.
Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa besarnya rejeki nomplok yang dinikmati pemerintah dan untuk apa saja uang itu digunakan? Padahal, sementara itu, kita terus menerus dikejutkan oleh semakin tingginya peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi di dunia. Sebagaimana diumumkan oleh Transparency International, peringkat Indonesia dalam jajaran negara juara korupsi terus meningkat dari urutan ketujuh pada 2002, menjadi urutan keenam pada 2003, dan menjadi urutan kelima pada 2004.
Alasan Kelima: Kemiskinan dan Pengangguran
Terakhir, pengurangan subsidi BBM sudah dapat dipastikan akan memicu terjadinya kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat. Hal itu, suka atau tidak, di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih meliputi 60 persen penduduk, dan jumlah penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, pasti akan semakin memperberat beban hidup rakyat.
Sementara itu, sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat sangat kontraktif, dan susunan tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF, sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintahan yang ada sekarang ini memang memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara sungguh-sungguh.
Alih-alih berusaha keras mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah justru tampak sangat getol membela kepentingan para kreditor dan investor asing di Indonesia. Tawaran moratorium dan penghapusan sebagian utang luar negeri yang dikemukakan oleh negara-negara anggota Paris Club, misalnya, cenderung ditanggapi dengan dingin oleh pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jusuf Anwar, tindakan tersebut dapat menghambat naiknya rating utang Indonesia dan menurunkan kepercayaan para investor untuk menanamkan modal mereka di sini.
Intinya, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, saya tidak hanya menyerukan kepada masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM. Pada saat yang sama, saya juga mengajak masyarakat untuk mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di sini, memerangi korupsi dengan memperkarakan koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.
Last but not least, menyusul terjadinya gempa dan gelombang tsunami yang menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa pada 26 Desember lalu, saya kira masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk meningkatkan keseriusannya dalam menanggulangi bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussallam dan sekitarnya itu. Wallahu a’lam bishawab.

Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell, sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.
Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.

Belajar Cinta dari Cicak  

Diposting oleh i4july

Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal.
Orang itu lalu berfikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu! Bagaimana dia makan?
Orang itu lalu menghentikan pekerjaanya dan memperhatikan cicak itu. Apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. Kemudian, tidak tahu dari mana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makan dimulutnya… AHHH!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta, cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. Apa yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu mengagumkan.

JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG KITA KASIHI!

Resensi Rumah Kaca; Tetra Logi Pulau Buru  

Diposting oleh i4july

Roman Tetralogi Pulau Buru mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya, waktu kita dibalikan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pegerakan nasional mula-mula.

Kehadiran roman sejarah ini bukan saja di maksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesustraan yang sangat minim manggarap periode pelik ini, karena inti hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.

Tetralogi ini di bagi dalam empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ke tiga ini, “ Jejak Langkah ” adalah fase pengorganiasaian perlawanan tahun 1900-an.

Mingke ( Tirto Adisuryo ) memobilisasi segala daya untuk melawan bercoklonya kekuasaan hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Mingke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan pribumi.

Dalam perlawananya, tentu Minke dibantu banyak orang yang begitu berempati pada kerja keras Minke dan pada masa depan bangsa ini. Salah satunya adalah Nyai Ontosoroh, yaitu bekas mertua Minke ( Ibu Annelis/bekas Istri Minke yang meninggal dunia ) yang masih selalu mendidik dan membantu Minke baik dari sisi Ekonomi maupun idea.

Sampai pada akhirnya, Minke disekolahkan ke-Stovia ( Sekolah kedokteran zaman Hindia-Belanda di Batavia ). Sejak saat itulah ide tentang kerakyatan dan nasional, Minke dapat dari orang-orang disekitarnya. Seperti Ang San Mei, aktivis China (Komunis) yang terdampar di Indonesia, yang kemudian menjadi Istrinya pula.

Berbagai idea terakumulasi, bagai gelindingan bola salju. Sampai pada akhirnya Minke menggalang kekuatan baik materi maupun jaringan, dengan merekruit beberapa tokoh/priyayi betawi. Dalam prosesnya Minke berupaya mencerdaskan masyarakatnya, dengan membentuk surat kabar pertama masyarakat pribumi, tanpa mengenal kelas pribumi mereka dapat mengadukan segala keluh kesahnya, bahkan sampai pada tahap advokasi. Yaitu terkenal dengan Medan Prijaji, dengan Koran ini Minke berseru-seru kerakyat pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi dan menghapuskan kebudayaan feodalistik sekaligus lewat jalan jurnalistik , Minke berseru-seru: “ Didiklah Rakyat Dengan Organisasi Dan Didiklah Penguasaan Dengan Perlawanaan.”

Usaha-usaha ini bukan tanpa rintangan, sering kali Pemerintah Hindia-Belanda yang di Gubernuri oleh Jend. Van Heuzt melakukan tindak kekerasan. Tetapi hal tersebut bahkan menjadi motivasi tinggi bagi Minke. Gerakan masyarakat pertama dan terbesar di Asia, pada saat itu Syarikat Dagang Islam menjadi senjata ampuh, dalam melawan gerakan Kapitalis, yang lebih dikuasai para pendatang ( Belanda, China dan Arab ). Sedangkan rakyat yang sedarah dan sedaging dengan bumi pertiwi ini, tergerus oleh bangsa lain yang hanya berupaya mengekploitasi bangsa Indonesia.

Gerakan ini tidak berhenti, pemuda pribumi yang dipelopori Oetomo yang tidak lain adik kelas Minke di Stovia, semakin mengibarkan bendera perlawanan pada Pemerintah Hindia-Belanda. Pada gerakan ini, muncul kader-kader muda baru yang sadar akan kecintaannya pada bangsa pribumi, bangsanya sendiri.

Meski pada akhir buku ini, Minke ditangkap dan dibuang kepengasingan di Sulawesi. Tetapi perlu diingat, dialah Sang Pemula. Berkat kesadaran dan keberaiannya munculah akumulasi kesadaran rakyat. Sehingga Indonesia ada, dan muncul generasi baru yang menjadi tombak ujung pejuangan kemerdekaan Indonesia.

Kritik dan Saran :
Novel ini, adalah sejarah yang dikemas oleh kesusastraan/fiksi. Secara umum, novel sejarah ini, sangan ringan dibaca, sehingga si pembaca tenggelam dan hanyut pada isi bacaan. Namun dari sisi yang lain, banyak moment dan tokoh yang terlalu bias/samar konfliknya. Sehingga sering kali kita sulit mencocokan isi cerita dengan kejadian sebenarnya. Padahal, banyak moment yang bersamaan terjadi dengan konflik utama cerita ini, tetapi kurang diungkap kejadiannya. Seperti gerakan Boedi Oetomo, yang sampai saat ini selalu menjadi moment bersejarah, tonggak pergerakan generasi muda pertama di Indonesia.

POTRET SURAM PENDIDIKAN INDONESIA  

Diposting oleh i4july

Potret pendidikan Indonesia yang semakin lama semakin tidak jelas, selalu menjadi bahan pemikiran semua kalangan. Baik Pemerintah, Swasta maupun para teknokrat, yang sedikit banyak andil dalam pembenahan infra dan supra struktur pendidikan bangsa kita. Hal ini ditunjukkan oleh kualitas pendidikan yang setiap tahun mengalami penurunan. Ditambah lagi dengan kuantitas yang ikut menurun. Belum lagi alokasi anggaran dari pemerintah yang tidak pernah menjadikan pendidikan sebagai prioritas.
Tentunya begitu banyak hal yang menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia. Selain kurangnya perhatian pemerintah, fasilitas yang tidak memadai, juga minimnya tingkat keseriusan dari stake holder pendidikan itu sendiri. Seperti para Guru, Orang Tua dan siswa itu sendiri. Artinya perlu komunikasi yang baik antara semua elemen. Tidak hanya diprioritaskan oleh pemerintah, tetapi juga harus didukung oleh kesadaran kolektif elemen pembangunnya.
Pendidikan dini didalam keluarga tentunya harus dapat menjadi pondasi yang kokoh, dalam rangka pembentukan karakter dan psikologis seorang individu. Pondasi ini yang nantinya akan membatasi system nilai dan norma ketika individu menjadi seorang makhluk social.
Sekolah adalah keluarga ke-dua, sehingga system pendidikan terbaik dan ideal tentunya harus diterapkan. Khususnya pada pendidikan dasar 9 tahun. Dalam lingkungan sekolah, seorang Guru seharusnya dapat menjadi orang tua kedua. Hakikatnya bukan pengajar tetapi pendidik. Sehingga Guru dituntut menjadi figure yang membumi. Bukan hanya menyampaikan pelajaran yang dikurikulumkan. Yang lebih penting lagi ialah menyampaikan system nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat. Agar para siswa/i dapat menumbuhkan human right, moralitas yang manusiawi. Agar sebagai seorang individu dia dapat menilai hal terbaik untuk dirinya.

Rendahnya Minat Baca dan Menulis
Budaya baca dan menulis masyarakat Indonesia yang rendah merupakan salah satu factor yang menyebabkan pendidikan Indonesia dari tahun ke-tahun tidak pernah mengalami perbaikan.
Bayangkan, ditengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin menggila ini, kita hanya berlaku sebagai korban, menjadi penikmat saja kita tidak mampu, apalagi menjadi pembaharu atau producen kemajuan. Kita bagai sebuah boneka yang dijejali apapun diam saja dan menerima ibarat taklid buta, tanpa reserve.
Hal ini ditunjukan oleh minimnya produktivitas bangsa kita, akan membaca dan karya tulis. Dimasa penjajahan Belanda, siswa setingkat SMA saja wajib membuat 106 karya tulis dan membaca 25 buku sastra yang terdiri dari empat bahasa yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Prancis. Sekarang ini anak SMA hanya dapat menulis rata-rata satu karya tulis dalam satu tahun.
Anjloknya budaya baca dan tulis ini mulai terjadi ketika Pemerintah cenderung memprioritaskan Pembangunan Fisik, tanpa diikuti pembangunan moral masyarakat. Sehingga daya pandang dan pola fikir masyarakat cenderung simbolik dan materialistis. Padahal dengan membaca dan menulis tidak hanya menambah pengetahuan, namun juga menumbuhkan rasa kemanusiaan dan logika berfikir.

Perlu Terobosan
Sesungguhnya banyak cara apabila pemerintah memilki niat baik untuk mencerdaskan masyarakat. Pertama ialah meningkatkan minat baca. Hal ini saya kira penting, karena bagaimana pun Pemerintah berkepentingan pada masyarakat yang cerdas. Bagaimana mungkin misalnya, Pemerintah Daerah akan dapat membuat kebijakan yang didukung masyarakat, apabila masyarakatnya tidak cerdas. Masyarakat yang belum cerdas tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan, tetapi dari kualitas dan kuantitas bacanya. Sebab, banyak orang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak cerdas, karena malas baca. Sehingga yang timbul ialah kekerasan disekolah atau kampus, atau perkelahian antar pelajar atau mahasiswa. Karena, pada saat ini masyarakat Indonesia masih memandang pendidikan dari sisi kuantitas, yang penting sekolah “agar tidak ketinggalan zaman/gengsi”, akan tetapi ghiroh pendidikan yang mulia sebagai bekal hidup dunia dan akhirat tidak menjadi orientasi.
Kedua, perbaikan Sistem Pendidikan. Baik itu Lembaga Pendidikan, fasilitas pendidikan, Infra Struktur, bahkan sampai kepada tahap Kebijakan. Lembaga Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan saat ini. Dengan tingginya jumlah penggangguran, sudah dapat menyimpulkan betapa hancurnya system pendidikan bangsa kita. Sebagian besar lembaga pendidikan hanya berfikir komersil, yang penting sebanyak mungkin siswa yang dapat mereka rekrut, sampai-sampai jumlah siswa melebihi kuota fasilitas. Seolah-olah lembaga pendidikan lepas tangan ketika siswa-nya telah lulus. Atau mungkin tidak terfikirkan bagaimana solusi terbaik agar setelah siswa lulus menjadi lebih berguna, baik itu mendapat pekerjaan ataupun meneruskan keilmuannya.
Sistem ini mau tidak mau terkait dengan system sosialnya. Artinya pemerintah harus dapat mengendalikan regulasi generasi. Dengan menciptakan ruang public, saya kira dapat mengatasi jumlah pengangguran. Karena dengan kondisi ekonomi yang fruktuatif saat ini sangat sulit menghilangkan pengangguran. Meski bentuknya tidak lapangan pekerjaan, minimal ada ruang untuk mencurahkan kreativitas. Dengan begitu diharapkan tercipta masyarakat yang produktif, bahkan tidak bergantung pada pemerintah.

Bandung, 9 Desember 2007